"Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya."

Dengan bekal kata2 mutiara Pramoedya Ananta Toer diatas saya bersiap berangkat kembali melanjutkan perjalanan mencari ilmu di negeri orang. Kali ini, saya berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Graduate Institute Geneva, Switzerland dengan beasiswa penuh. Program S2 yang akan saya tempuh merupakan ilmu antropologi dan sosiologi pembangunan.  Ilmu yang mempelajari segala bentuk aktifitas dan persoalan manusia. The study concerning human beings, being human.

Antropologi pada awalnya bukan pilihan disiplin saya....Dunia akademis juga saya jalani dengan sangat terbuka, dan inter-disipliner. Bagi saya pendidikan adalah bekal untuk hidup, bukan sekedar mendapatkan ijazah untuk mencari kerja. Banyak yang bertanya mau kerja apa dan dimana setelah lulus, saya juga belum tahu. Bukan berarti saya tidak punya cita2. Cita2 itu penting, lebih penting daripada karir, jabatan, atau angka gaji per tahun. Cita2 itu menjelajahi dunia, menginjakan kaki di 17000 pulau di Indonesia, bangun rumah sendiri, menerbitkan buku/puisi/ album musik... Karena kalau terpaku dengan kategori "karir" atau "status", di saat itulah mimpimu terbunuh, atau kau mengejar mimpi orang lain.

Mungkin cita-cita saya adalah mengharumkan bangsa. Ya, kenapa tidak? Memang sudah cukup bau dari polusi kendaraan dan limbah pabrik/konsumer yang mencemari lingkungan hidup. Perlu diharumkan lagi. Tapi apakah cukup dengan parfum yang disemprotkan Pemprov DKI Jakarta di Kali Item? Sungai tercemar, yang dipikirkan pencemaran nama baik. Bukankah ini mengilustrasikan suatu kegilaan, yang menunjukan putusnya nalar, bahkan hilangnya akal sehat. Saya tidak menyalahkan siapa2 disini. Ini hanya suatu ilustrasi dari banyaknya jenis polusi di sekitar kita: plastik, informasi/disinformasi, iklan, kampanye. Akhirnya banyaknya polusi membuat kita sangat buta dengan akar permasalahan yang sangat berdampak pada hidup kita sendiri, hal-hal yang sangat mendasar. 

Setahun terakhir saya sempat berkelana ke pelosok negara ini yang orang-orangnya dicap tertinggal, miskin, atau primitif. Tapi kalian tahu, kebanyakan dari mereka yang saya temui menunjukan sifat2 yang masih tinggi solidaritasnya, saling gotong royong, dan kesadaran spiritual yang merendahkan hati manusia hingga dapat menjaga hubungan antar sesama dan lingkungan sekitar sebagai sumber penghidupan. Bukankah ini nilai-nilai yang diajarkan Pancasila yang sangat diagungkan itu? Di sudut-sudut negara ini, bangsa ini masih harum. Walaupun parfum-parfum ibukota itu disemprotkan ke mereka. Yang tadinya tidak perlu banyak untuk hidup sejahtera, mereka jadi tergantung dengan kebutuhan baru.

Di sekolah, Pancasila sekedar menjadi hafalan dan Indonesia Raya berkumandang setiap kali upacara hari Senin, dengan satu pesan: tunduklah dan patuhilah negara. Negara dalam artian mereka yang berkuasa. Bagaimana dengan upacara adat?  Apa yang muda masih ingat dengan doa-doa nenek moyang untuk menjaga sikap dan lingkungan sekitar?

Pendidikan yang berorientasi industri dan pasar tentunya hanya akan menghasilkan buruh yang patuh akan suruhan. Pendidikan yang mengedepankan hasil ujian dan ranking semata tentunya hanya akan mendukung sistem kompetisi antar individu,  spesialisasi pengetahuan satu bidang saja (kebanyakan pengetahuan teknis manajerial yang diprioritaskan), yang pada akhirnya melahirkan penindas baru. Indonesia bangga dengan Bhineka Tunggal Ika. Apakah artinya "pembangunan" yang sebenarnya suatu proses standardisasi orientasi ke industrial/kota, perlahan menjadikan bangsa kita suatu masyarakat homogen? 

Tetapi kita harus kembali lagi ke kenapa negara ini diselenggarakan. Setelah menggali lagi pemikiran-pemikiran nasionalis negara ini, saya pikir Founding Fathers kita memang gokil, mereka melawan arus zaman saat itu, dengan visi yang kuat. Ada juga mereka yang perannya tidak tercatat sejarah. Tanah Indonesia tempat tumpahnya darah... Mungkin pesan terpenting dari "Indonesia Raya" yang banyak nyawa telah dikorbankan untuk kita sekarang bisa menyanyikannya dengan hormat dan bangga, yang sekarang menjadi hafalan nyanyian tiap hari senin upacara sekolah dan 17 agustus adalah ini:

"Bangunlah jiwanya Bangunlah badannya untuk Indonesia Raya..."

Penting karena ini pesan untuk masa depan Indonesia terus dibangun. Tapi, pembangunan seperti apa?  

Jelas disini disebut pertama bangun jiwanya lalu badannya (infrastruktur, simbolisme identitas negara, kekuatan militer, angka GDP). Pembangunan jiwa akan memberikan suatu arah dan pedoman untuk terbentuk badannya. Jiwa tidak langsung terlihat kasat mata, tidak selalu bisa diukur dan bukan merupakan bentuk "hasil" atau "output". Maka pembangunan jiwa adalah proses yang tiada hentinya, yang pada akhirnya melahirkan apa yang disebut budaya. Pembangunan yang hampa akan jiwa, asal-asalan mengejar target angka, dan hanya menggunakan kerangka pikir kuantitatif, akan terlihat seperti gedung-gedung kosong tak berwarna menghadang pemandangan langit Jakarta.  

Disini lah kekuatan "qualitative data", yang menjadi tugas utama para antropolog dalam tiap risetnya untuk menggali arti dan nilai tiap tindakan manusia di lingkungan sosialnya, menjadi sangat relevan. Dalam meneliti, menurut saya antropologi menggunakan pendekatan yang manusiawi, karena seorang peneliti menggunakan dirinya (jiwa dan raga seorang manusia) saat menghasilkan data etnografis. Tugas antropologi adalah memanusiakan manusia. 

Kesimpulan saya setahun terakhir meneliti dan berpetualang di negeri ini: Indonesia itu suatu kompleksitas, suatu puzzle yang berantakan seperti wujud kepingan pulau Nusantara ini yang tersebar sepanjang khatulistiwa. Sesungguhnya tidak ada satu solusi untuk menyusun puzzle membingungkan ini. Diperlukan banyak ide dari berbagai macam disiplin dengan visi yang sinkron untuk mulai mencari solusi. 

Yang pasti parfum bukan solusi. ilmu pengetahuan pun bukanlah segalanya. Keberanian untuk maju, untuk bilang TIDAK, berbuat adil, punya pendirian kuat, ini didapat dari pengalaman hidup. Ujian sebenarnya yaa memang ada di luar kelas. 

Ya begitulah omelan saya tentang negara ini....memang tidak ada yang baru...tapi saya harap masih terdengar nada optimis dari omelan ini. Merdeka! 

Puji syukur kehadiran kalian semua di dalam hidup saya.  Terutama untuk orang tuaku yang selalu mendukung dari awal. 

Kukira horison sudah di depan mata,  semakin kudekati semakin menjauh. Sungguh dunia ini begitu luas. Time to set sail again. 

Mohon doanya.  

*PHOTO: found in my family's photo album showing my uncle studying abroad under Soekarno's scholarship program in the 60s. 

Using Format